Sabtu, 28 Maret 2015

Part 4# Horror Story (END)

The Truth

Jam 19.00 WIB hari sabtu, tepat seperti saat kematian Malvin. Aku duduk disalah satu bangku kelas dengan lampu dimatikan. Satu-satunya penerangan yang ada, hanya sinar bulan purnama yang masuk lewat kaca jendela. Terlihat Malvin sedang duduk dibangku guru sambil menundukkan wajahnya. Bukan hanya kami berdua yang ada dikelas ini, penghuni yang lainnya pun datang dengan keadaan yang mengerikan. Hantu sialan!
“Hei, Khalil apa kau tidak takut duduk sendirian disini bersama hantu?”
Aku hanya mendesah panjang, “aku sudah terbiasa, bahkan dirumahku juga banyak.”
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan aku sudah tau siapa yang akan datang,
“Selamat malam pembunuh, atau bisa kupangil ….. Kakak?” sindirku.
Tanpa ragu-ragu Keisya masuk menatapku tajam, terlihat jelas ia sangat membenciku.
“Kau tau seberapa bahayanya surat ini jika dibaca orang lain?!” seru Keisya sambil meremukan kertas yang tadi siang kutaruh dibangkunya.
Aku tersenyum sinis, “Tentu saja, kau bisa masuk penjara karena itu,” balasku.
“Jadi apa yang kau minta? Uang sebanyak apa untuk menutup mulutmu?”
“I don’t need your money, aku hanya ingin kalian mengaku sebagai pembunuh Malvin dan menerima hukumannya. Clear?”
“Kalian?” tanyanya balik
Aku mengangguk, “Yap, bukankah begitu kak Aryo?” tanyaku pada Aryo yang sedari tadi sudah bersembunyi dalam lemari kelas. Ia keluar dan terlihat ekspresi marahnya.
“Jika kau tau daritadi aku ada disana, mengapa kau tidak menangkap basahku saja?”
“Lebih baik mempermalukanmu sekarang,” balasku.
Keisya terganga melihat Aryo, sepertinya ia tidak tau kalau Aryo lah partnernya. Aku kemudian melihat Malvin yang dari tadi hanya tersenyum sedih mengetahui sahabatnya bersengkokol.
“Kak Kesiya bagaimana kalau kujelaskan mengapa kak Aryo bisa ada disini?” tanyaku pura-pura manis.
“Jangan beritahu dia!” seru Aryo padaku.
Keisya mengelengkan kepalanya sambil menangis, “tidak, tolong beritahu aku,”
“Baiklah” jawabku, “Hari ini tepat saat kau membunuh Malvin,orang kau cintai.”
Mendengar itu Keisya hanya tersenyum sedih, sedangkan Aryo terlihat kecewa.
“Kau tau kan kalau hari itu Malvin harus mengerjakan banyak tugas dia sebagai Ketos, dan kau juga tau kalau Malvin pasti akan pulang malam karena ia akan mengerjakannya disekolah. Saat itu juga kau membuat rencana untuk membunuhya. Awalnya kau memberi dia minuman gratis yang sudah berisi obat, setelah itu kau menunggu dilantai bawah sampai keadaan sekolah sepi.”
“Saat sekolah sudah sepi, kau naik keatas dan memperhatikan Malvin dari beranda. Saat Malvin sudah mulai menunjukan efek obat yang kau kasih, kau mencekiknya dari belakang. Untuk seorang perempuan ku akui kau sangat kuat, Kak Keisya. Bahkan aku tidak menyadari bahwa perempuanlah yang membunuhnya, tapi itu terbukti dengan kau mengikuti eksul karate. Apalagi sekarang kau sabuk merah.”
“Tunggu dulu!” bentak Aryo, “darimana kau tau tentang semua itu?” tanyanya
Tentu saja aku tau, memangnya aku bodoh sepertimu yang meninggalkan bukti. “Akan kuberitau setelah hipotesaku ini selesai,”
“Setelah membunuh Malvin, kak Keisya teringat sesuatu yang membuat dia marah. Kemudian untuk meluapkan kemarahan itu, ia menganiaya Malvin. Aku tidak tau seperti apa? Mungkin menusuk atau memukul Malvin, sehingga seragamnya kotor penuh akan percikan darah Malvin. Ia panik melihat apa yang telah ia lakukan, kemudian menganti seragamnya dengan satu-satunya baju yang ia bawa. Seragam karatenya.”
“Mengapa kau tau tentang seragam karate itu?” tanya Keisya.
            Aku mendesah dan menjawab pertanyaanya, “Bukankah minggu lalu, eskul karate diliburkan?”
            Keisya kaget mendengar hal itu dan terdiam.
            “Setelah itu ia menyembunyikan senjatanya disuatu tempat dikelas ini, kemudian buru-buru pergi.”
Aku menghidupkan lampu dan mengambil sesuatu dalam vas bunga, “bunga dalam vas ini sudah layu dari dulu. Kukira memang masanya tumbuhan ini layu, rupanya ada yang salah dengan airnya. Air keruh bewarna merah yang jarang diganti ini mempunya bukti kuat kalau Keisya lah pembunuhnya.”
Karter, sesuai dugaanku. Alat kecil berbahaya yang sering dibawa oleh pelajar tanpa dicurigai oleh guru.
“Karter inilah senjata pembunuhnya! Kau tau mengapa? Itu karena saat kau mencekik Malvin, ia masih hidup dan bernafas. Sekuat apapun kau, kau pasti tidak tega mencekiknya sampai mati, karena ia orang yang spesial untukmu! Apa kau puas setelah membunuhnya?”
Keisya yang sedari tadi menangis, terduduk sambil meratapi karter yang kupegang. Dia kemudian tersenyum sedih dengan mata berkaca-kaca, “Kau tau kan mengapa aku membunuhnya?”
“Kau ditolak olehnya” balasku dingin.
“Bukan, bukan itu penyebabnya. Jika aku ditolak karena seperti gadis lain itu sudah biasa tapi, aku teman masa kecilnya. Bukankah dia seharusnya memperlakukanku dengan istemewa?!” katanya sambil tertawa senang.
Ah, sudah kutebak cewek ini gila!
“Saat kudengar ada perempuan lain yang lebih baik dalam segala hal dariku dan menyukai Malvin. Hatiku sangat sakit. Aku takut kalau Malvin akan bersama gadis itu dan pergi meninggalkanku. Jadi aku membunuhnya!! Aku membunuhnya agar tidak ada yang bisa memiliki dia, jika aku tidak bisa memilikinya maka tidak ada yang boleh memiliki dia. Kau mengertikan perasaanku?”
“Tidak dan tidak akan pernah,” jawabku tak bernada, “aku tidak ingin mengetahui perasaan pembunuh!”
“A.. apa?” tanya Keisya terbata-bata.
Aku melemparkan wajahku dan menatap Aryo, “bukankah kau ingin tau mengapa Aryo ada disini?” tanyaku. “Apa ingin kuceritakan?”
Keisya berdiri dan menatap Aryo penasaran, “Ya,” jawab Keisya ringan.
“Orang ini, dia adalah saksi.”
“Saksi?”
Aku mengangguk, “Ya. Tapi sayangnya dari pada menjadi saksi untuk sahabatnya, ia lebih memilih menjadi kaki tangan perempuan yang ia cintai. Kau Keisya, ia membantumu membunuh Malvin.”
Keisya dan Malvin terlihat kaget sambil terus memandangi Aryo yang menatap balikku. “Laki-laki ini, ia melihatmu dari gedung seberang tepatnya ruang musik. Kau tau kan kalau ia akan ikut lomba band antar sekolah, jadi ia berlatih keras sampai malam. Pada malam itu, ia melihatmu membunuh Malvin dan melarikan diri. Takut kalau kau bakalan ketahuan dan masuk penjara, ia datang kekelas ini dan melemparkan tubuh Malvin dari lantai ini,”
“Setelah itu ia membersihkan kelas yang telah berlumuran darah dan menganti bajunya. Mendengar teriakan penjaga sekolah, ia lari kehalaman dan menemukanmu. Setelah itu seperti yang kalian semua ketahui. Polisi, ambulans dan keluarga Malvin datang untuk mengambil mayat sahabat kalian.”
Plok… plok …
Aryo bertepuk tangan dan tertawa lebar, “Sahabat? Kau kira Malvin sahabatku? Ha..ha..!” tawanya, “Kau tau, semua yang kau bilang itu benar. Tapi ada satu hal yang kau lewatkan. Kau pikir kami akan menyerahkan diri pada polisi? Mana ada orang yang percaya pada hipotesamu yang sok pintar itu? Lagian aku sudah menghapus rekaman CCTV dilorong ini saat malam itu, jadi kau tidak akan menemukan buktinya!”
“Bagaimana dengan karter ini? Keisya dapat masuk penjara?” balasku tenang.
Aryo masih tertawa seperti seorang psycho, “jika aku membunuhmu dan menghilangkan karter itu, maka Keisya tidak akan masuk penjara dan kami akan tetap bersama seperti saat ini. Benarkan Keisya?” katanya sambil menatap penuh arti pada Keisya.
“PYSCHO!! Pembunuh!! Kau kira aku mau bersama denganmu?” teriak Keisya, “sampai matipun aku tidak ingin bersamamu, bahkan kau tidak mengangap Malvin sahabatmu! Dasar pembunuh!”
“Apa maksudmu Keisya? Bukankah kau membunuh Malvin juga?Ingat, kita ini partner in crime?”
Keisya terdiam kaku tidak bisa berkata apa-apa, “setidaknya aku akan menembus kesalahanku. Kemudian ia mengambil karter dari tanganku dan hendak menancapkannya ke leher,”
Sial! “Hei, jangan bertindak gila!” seruku
Tiba-tiba tangan Keisya berhenti, Malvin muncul dihadapannya dan tersenyum menenangkan Keisya. Apa Keisya bisa melihatnya? Sepertinya bisa. Ia kemudian terdiam dan duduk sambil menangis meminta maaf.
“Maafkan aku Malvin! Maafkan aku!”
Aku melihat Aryo yang sepertinya juga melihat Malvin tadi. Ia hanya duduk terdiam sambil termenung seperti memikirkan apa saja yang baru terjadi.
“Menyerahlah,” kataku, kemudian aku menelpon polisi untuk datang kesekolah.
Saat polisi datang Keisya dan Aryo menyerahkan diri dan sebagai buktinya ia memberikan karter yang penuh akan sidik jari Keisya dan rekaman CCTV yang Aryo ambil. Akhirnya masalah selesai. Aku cepat-cepat pulang agar tidak terlibat masalah lagi, bisa mati aku jika terlibat.
Flash back
Saat menunggu polisi datang aku melihat Keisya sangat tersiksa, terlihat sekali kalau dia memang mencintai Malvin. “Kau tau Keisya kalau Malvin sebenarnya juga menyukaimu?” tanyaku pada Keisya.
Keisya tersentak dan tertawa kecut, “Memberi harapan palsu saat ini tidak berguna bagiku,”
“Kau pikir begitu?” tanyaku lagi, “sebenarnya Malvin menolakmu karena ia takut kau akan terluka bersamanya, ia ingin kau bersama orang lain yang lebih baik darinya agar kau bahagia. Ia itu cowok yang bodoh,kan?” kataku sambil menatap Malvin yang dari tadi duduk disebelah Keisya.
“Jangan bicara seperti itu, kau tau darimana tentang dia?”
“Tentu saja aku tau, kami sudah seminggu berteman. Dia orang yang kekanak-kanakan, berisik, tapi baik,” jawabku, “aku ini indigo ,jadi jangan bilang siapa-siapa ya?”
Flash back end
Keesokan harinya hari minggu, sama seperti saat pertamakali. Malvin berteriak membangunkanku, buat kepalaku pecah saja!
“Malvin berisik! Pergilah darisini!” seruku, sambil melempar bantal guling ke Malvin. Tentu saja dengan mulus menembus badannya.
“Ayo, bangun. Apa kau tidak ingin tau mengapa kau tidak punya aura kehidupan?” tanyanya yang membuatku penasaran.
“Baiklah aku bangun, lihat?!”
“Yap”
Kenapa dia bahagia sekali setelah kejadian seperti kemarin? “Hei, kau tidak apa-apa dengan yang terjadi kemarin?” tanyaku khawatir.
Wajahnya berubah cemberut, wajah apaan itu? Kera?
“Pftt…” kataku menahan tawa.
“Itu bohong kalau aku tidak apa-apa, tapi…”
“Tapi?”
“Kau sudah membantuku, dan juga memperingatkanku. Jadi itu tidak masalah, sesuai janji aku akan memberitahumu tentang auramu yang aneh itu!”
Baguslah! “Baik, beritahulah sekarang!”
“Kau adalah yang mati!” serunya tiba-tiba.
“Apa?” kataku heran
Dia menatapku serius dan memegang pundakku, “Dari beratus juta orang didunia, kau adalah yang hidup kembali karena suatu tujuan. Kau bukan manusia melainkan arwah yang berwujud, itulah sebabnya kau tidak memiliki apa-apa. Bahkan kau tidak memiliki ingatan masa lalu.”
“Apa yang kau bicarakan? Apa kau jadi gila seperti sahabatmu?” tanyaku mulai takut.
“Aku tidak bercanda!” bentaknya, “aku bahkan sampai sekarang masih takut setelah mengetahui kenyataanya, kemarin aku datang ke rumahku dan menemukan buku yang sesuai dengan kehidupanmu saat ini. Kau adalah arwah yang berwujud karena memiliki suatu tujuan. Entah itu tujuan baik atau buruk tapi itu mempengaruhi seluruh kehidupanmu, kau tidak akan bisa mati kecuali mencapai tujuanmu itu.”
“Kau bohong!” balasku, ini tak mungkin. Mana ada arwah bisa mempunyai tubuh, akan aku buktikan. Aku lari kesekolah dan menaiki tangga sampai lantai 4. Aku berdiri di beranda dan melangkahkan kakiku untuk terjun. Aku bosan dengan dunia ini, jika ini bisa mengakhiri segalanya maka akan kulakukan. Terlihat olehku Malvin yang berada dibawah, dia terlihat sangat terkejut. Angin berhembus kencang, terasa oleh seluruh bagian tubuhku ….
Tapi tunggu dulu, mengapa perasaan ini sangat familiar? Aku bahkan tidak takut untuk terjun seperti orang kebanyakan. Malah aku merasakan…. De javu. Seperti katanya, aku tak mati maupun hidup. Hanya mengambang dimuka bumi ini mencari tujuanku sebelum mati. Menyedihkan.

END -


Part 3# Horror Story

Uji Hipotesa

            Aku berjalan kesekolah dengan langkah cepat, seharusnya ini menjadi pagi yang tenang. Tapi…
            “Hei Khalil itu tidak mungkin! Hipotesamu yang kemarin pasti salah!”
            Tidak mungkin bisa dengan adanya arwah ini.
            “Khalil jawab aku! Itu tidak benarkan?” tanya Malvin sekali lagi. Ia berusaha menyakinkan dirinya bahwa hipotesaku salah besar.
            “Jika kau tidak suka diam saja! Aku akan mencari kebenarannya dan kau akan pergi!” bentakku akhirnya. Aku sudah muak dengan perjanjian ini, aku akan menemukan pembunuhnya dan dia akan pergi. Selesai.
            “Bukannya aku tidak suka, aku hanya tidak bisa menerima kenyataannya jika memang seperti itu,”
            Aku menghela nafas dan memberikan sedikit nasehat, “bukankah sudah kubilang kemarin kalau kenyataannya menyakitkan? Jadi kau harus siap menerimannya. Lagian yang sudah terjadi tidak akan bisa kembali lagi.”
            Malvin menghela nafas dan tersenyum tipis, “ya, maafkan aku. Seperti perjanjian aku akan pergi setelah tau kalau semuanya benar.”
            “Itu bagus, tapi kau juga harus menepati janji yang lainnya,” balasku sambil memberi tanda.
            Arwah itu mengangguk mengerti, “Ya aku tau!”
            Tiba disekolah, aku langsung pergi menuju ruang musik. Aku berdiri di berandanya dan tepat sesuai dugaanku. Aku dapat melihat dengan jelas ruang diseberangnya. Kelas X.B IPS, ruang kelas Malvin.
            Sring… Sring…
            Terdengar suara keras bass dari ruang musik, aku melihat jam tanganku. Pukul 06.13 WIB. Pagi-pagi begini sudah ada yang berlatih?
            “Wah suara yang bagus!” seru Malvin mengejutkanku, ia mendekati ruang musik dan melihat masuk lewat jendela. “Oh rupanya itu Aryo!”
            “Aryo? Orang yang bersama Keisya saat kematianmu?”  tanyaku sedikit terkejut. Aku mendekati Malvin dan juga ikut melihat masuk kedalam. Aryo berbeda sekali dengan yang kubayangkan. Ia sangat modis dan terlihat seperti anak band pada umumnya, berbeda 180° dengan Malvin, Ketos yang terlihat seperti seorang kutu buku.
            Malvin menganggukan kepalanya, “Tadi kulihat ada poster lomba band antar sekolah, dia pasti ingin memenangkannya. Jadi ia berlatih keras, semangat Aryo!” katanya memberi semangat. Apa yang terjadi jika hipotesaku memang benar? Sesakit apakah nanti dia?
            “Aku akan masuk” kataku datar
            Ketos bodoh itu melihatku sambil memasang wajah tercengang, “apa? Mengapa? Dia sedang berlatih, jangan menganggunya!”
            “Hanya ingin memastikan,” balasku sambil masuk memasuki ruang musik. Saatku memasukinya, terlihat pada umumnya. Ruang besar yang penuh akan peralatan musik. Melihat sekeliling aku bertemu mata dengan Aryo yang terdiam memegangi bassnya.
            “Sorry, ruangannya lagi gue pake. Lo bisa keluar dulu?” tanyanya
“Hm.. serius banget? Apa segitu pentingnyakah lomba band itu atau…. ada hal yang pengen dilupain?” tanya gue balik sebelum ninggalin tempat itu.
Aryo mengernyitkan dahinya, “maaf?”
“Ngak ada, hanya ingin nanya. Apa kakak pernah melihat sesuatu di lantai 4 ruang X.B IPS?”
“Ngak!” jawab Aryo cepat, raut wajahnya langsung berubah menjadi ketakutan, “gue ngak pernah lihat apa-apa disana”     
“O,” seruku memancingnya
“Kenapa? Kenapa kamu menanyakan tentang itu?”
Dia penasaran, “Hanya mencari kebenaran, kak”
Aryo terdiam dengan tatapan penuh tanya, “apa maksudnya?”
Kring………..
Bel sekolah sudah berbunyi, saatnya kembali kekelas. “Lupakan saja jika tidak mengerti. Terimakasih, kak!” kataku sambil tersenyum penuh arti. Saat keluar ruangan tak kulihat lagi Malvin, kurasa ia pergi kesuatu tempat. Itu bukan masalah, yang terpenting hipotesaku kalau Aryo melihat sesuatu pada hari itu benar.
Istirahatnya, aku pergi kekantin. Ada banyak hal yang menganggu pikiranku tapi ada satu hal yang paling menganggu. Mengapa Keisya masih mengunakan baju karate, padahal dia anak yang disiplin. Itu sangat tidak biasa!  
“Ah, capeknya! Lebih baik makan bakso dulu,” kataku sambil duduk disalah satu kursi kantin.
“Bill, besok ada eskul karate, kan?” tanya seorang perempuan yang ada dibelakangku pada temannya.
“Iya, cutinya Pak Farel minggu lalu sudah habis,” balas temannya
Pak Farel, bukankah dia guru yang mengajar eksul karaete? Minggu lalu?
“Yah sebel! Lebih baik libur lagi kyk dulu!”
Temannya tampak mendesah, “memang sih, tapi eskulkan mempengaruhi nilai.”
“Yang ngak enaknya, minggu lalu baju karate harus dibawa lagi pulang. Padahalkan lumayan berat,”
Jadi begitu, kataku dalam hati. Saat akan pergi meninggalkan kantin, terdengar suara gadis berteriak kencang. Entah siapa, tapi perempuan itu terlihat seperti sedang memaki-maki orang-orang. Bukankah mereka anak-anak karate tadi?
“Hei, lihat, lihat! Itu dia lagi!” tunjuk seorang laki-laki pada gadis yang berteriak itu.
Temannya yang lain hanya mengelengkan kepala, “Oh, lagi-lagi dia. Kenapa sih dia selalu membuat keributan?”
“Maaf,” kataku ingin bertanya pada mereka, “kamu kenal gadis itu?”
Kedua laki-laki itu tertawa, “kamu anak baru ya?” tanya mereka balik
Rupanya mereka kakak kelas toh, “iya, kak”
“hehe… gue dipanggil, kak! Kenapa nanya tentang itu, dek? Jangan-jangan kamu naksir dia?”
“Eh, bukan gitu, kak!” balasku sambil tertawa garing. Apa mereka mengerjaiku?
“Sudah, sudah. Jangan ngerjain dia, ndi. Dek kalau kamu memang naksir dia, lebih baik buang jauh-jauh perasaan itu. Keisya itu orangnya judes,”
Keisya?!
“Hm… maaf, kakak tadi nyebut Keisya?”
“Iya, cewek yg tadi namanya Keisya.”
Dikelas aku hanya mematung memikirkan hal yang baru saja terjadi.
 Meskipun dia kuat karena jago karate, dia orangnya lemah lembut, kok
Apanya yang lemah lembut?, pikirku.
“Khalil, sebutkan apa yang menjadi mottomu!” seru guru bahasa Indonesiaku. Jadi daritadi pelajaran bahasa Indonesia.
“Jangan menilai buku dari covernya,” jawabku ringan.
“Wau…!” seru kagum orang-orang dikelasku.
“Itu dulu,” tambahku, “sekarang mottoku yaitu Jangan pernah percaya pada siapapun.
“Benarkah?” tanya Malvin yang tiba-tiba sudah ada disebelahku. Ia tersenyum dari balik jendela dan kemudia terbang dilangit-langit kelas. Untung saja tidak ada yang melihatnya, kalau tidak semua orang pasti akan menjerit.
Aku menulis sesuatu diatas kertas dan menaruhnya didepan mejaku, seperti yang kukira Malvin langsung membacanya kemudian pergi.

- Bersambung -