Uji
Hipotesa
Aku berjalan kesekolah dengan
langkah cepat, seharusnya ini menjadi pagi yang tenang. Tapi…
“Hei Khalil itu tidak mungkin!
Hipotesamu yang kemarin pasti salah!”
Tidak mungkin bisa dengan adanya
arwah ini.
“Khalil jawab aku! Itu tidak
benarkan?” tanya Malvin sekali lagi. Ia berusaha menyakinkan dirinya bahwa
hipotesaku salah besar.
“Jika kau tidak suka diam saja! Aku
akan mencari kebenarannya dan kau akan pergi!” bentakku akhirnya. Aku sudah
muak dengan perjanjian ini, aku akan menemukan pembunuhnya dan dia akan pergi.
Selesai.
“Bukannya aku tidak suka, aku hanya
tidak bisa menerima kenyataannya jika memang seperti itu,”
Aku menghela nafas dan memberikan
sedikit nasehat, “bukankah sudah kubilang kemarin kalau kenyataannya menyakitkan?
Jadi kau harus siap menerimannya. Lagian yang sudah terjadi tidak akan bisa
kembali lagi.”
Malvin menghela nafas dan tersenyum
tipis, “ya, maafkan aku. Seperti perjanjian aku akan pergi setelah tau kalau
semuanya benar.”
“Itu bagus, tapi kau juga harus
menepati janji yang lainnya,” balasku sambil memberi tanda.
Arwah itu mengangguk mengerti, “Ya
aku tau!”
Tiba disekolah, aku langsung pergi
menuju ruang musik. Aku berdiri di berandanya dan tepat sesuai dugaanku. Aku
dapat melihat dengan jelas ruang diseberangnya. Kelas X.B IPS, ruang kelas
Malvin.
Sring…
Sring…
Terdengar suara keras bass dari
ruang musik, aku melihat jam tanganku. Pukul 06.13 WIB. Pagi-pagi begini sudah
ada yang berlatih?
“Wah suara yang bagus!” seru Malvin
mengejutkanku, ia mendekati ruang musik dan melihat masuk lewat jendela. “Oh
rupanya itu Aryo!”
“Aryo? Orang yang bersama Keisya
saat kematianmu?” tanyaku sedikit
terkejut. Aku mendekati Malvin dan juga ikut melihat masuk kedalam. Aryo
berbeda sekali dengan yang kubayangkan. Ia sangat modis dan terlihat seperti
anak band pada umumnya, berbeda 180° dengan Malvin, Ketos yang terlihat seperti
seorang kutu buku.
Malvin menganggukan kepalanya, “Tadi
kulihat ada poster lomba band antar sekolah, dia pasti ingin memenangkannya.
Jadi ia berlatih keras, semangat Aryo!” katanya memberi semangat. Apa yang
terjadi jika hipotesaku memang benar? Sesakit apakah nanti dia?
“Aku akan masuk” kataku datar
Ketos bodoh itu melihatku sambil
memasang wajah tercengang, “apa? Mengapa? Dia sedang berlatih, jangan
menganggunya!”
“Hanya ingin memastikan,” balasku
sambil masuk memasuki ruang musik. Saatku memasukinya, terlihat pada umumnya.
Ruang besar yang penuh akan peralatan musik. Melihat sekeliling aku bertemu
mata dengan Aryo yang terdiam memegangi bassnya.
“Sorry, ruangannya lagi gue pake. Lo
bisa keluar dulu?” tanyanya
“Hm.. serius banget? Apa segitu pentingnyakah lomba
band itu atau…. ada hal yang pengen dilupain?” tanya gue balik sebelum
ninggalin tempat itu.
Aryo mengernyitkan dahinya, “maaf?”
“Ngak ada, hanya ingin nanya. Apa kakak pernah
melihat sesuatu di lantai 4 ruang X.B IPS?”
“Ngak!” jawab Aryo cepat, raut wajahnya langsung
berubah menjadi ketakutan, “gue ngak pernah lihat apa-apa disana”
“O,” seruku memancingnya
“Kenapa? Kenapa kamu menanyakan tentang itu?”
Dia penasaran, “Hanya mencari kebenaran, kak”
Aryo terdiam dengan tatapan penuh tanya, “apa
maksudnya?”
Kring………..
Bel sekolah sudah berbunyi, saatnya kembali kekelas.
“Lupakan saja jika tidak mengerti. Terimakasih, kak!” kataku sambil tersenyum
penuh arti. Saat keluar ruangan tak kulihat lagi Malvin, kurasa ia pergi
kesuatu tempat. Itu bukan masalah, yang terpenting hipotesaku kalau Aryo
melihat sesuatu pada hari itu benar.
Istirahatnya, aku pergi kekantin. Ada banyak hal
yang menganggu pikiranku tapi ada satu hal yang paling menganggu. Mengapa
Keisya masih mengunakan baju karate, padahal dia anak yang disiplin. Itu sangat
tidak biasa!
“Ah, capeknya! Lebih baik makan bakso dulu,” kataku
sambil duduk disalah satu kursi kantin.
“Bill, besok ada eskul karate, kan?” tanya seorang
perempuan yang ada dibelakangku pada temannya.
“Iya, cutinya Pak Farel minggu lalu sudah habis,”
balas temannya
Pak Farel, bukankah dia guru yang mengajar eksul
karaete? Minggu lalu?
“Yah sebel! Lebih baik libur lagi kyk dulu!”
Temannya tampak mendesah, “memang sih, tapi eskulkan
mempengaruhi nilai.”
“Yang ngak enaknya, minggu lalu baju karate harus
dibawa lagi pulang. Padahalkan lumayan berat,”
Jadi begitu, kataku dalam hati. Saat akan pergi meninggalkan
kantin, terdengar suara gadis berteriak kencang. Entah siapa, tapi perempuan
itu terlihat seperti sedang memaki-maki orang-orang. Bukankah mereka anak-anak
karate tadi?
“Hei, lihat, lihat! Itu dia lagi!” tunjuk seorang
laki-laki pada gadis yang berteriak itu.
Temannya yang lain hanya mengelengkan kepala, “Oh,
lagi-lagi dia. Kenapa sih dia selalu membuat keributan?”
“Maaf,” kataku ingin bertanya pada mereka, “kamu
kenal gadis itu?”
Kedua laki-laki itu tertawa, “kamu anak baru ya?”
tanya mereka balik
Rupanya mereka kakak kelas toh, “iya, kak”
“hehe… gue dipanggil, kak! Kenapa nanya tentang itu,
dek? Jangan-jangan kamu naksir dia?”
“Eh, bukan gitu, kak!” balasku sambil tertawa
garing. Apa mereka mengerjaiku?
“Sudah, sudah. Jangan ngerjain dia, ndi. Dek kalau
kamu memang naksir dia, lebih baik buang jauh-jauh perasaan itu. Keisya itu
orangnya judes,”
Keisya?!
“Hm… maaf, kakak tadi nyebut Keisya?”
“Iya, cewek yg tadi namanya Keisya.”
Dikelas aku hanya mematung memikirkan hal yang baru
saja terjadi.
Meskipun dia kuat karena jago karate, dia
orangnya lemah lembut, kok
Apanya yang lemah lembut?, pikirku.
“Khalil, sebutkan apa yang menjadi
mottomu!” seru guru bahasa Indonesiaku. Jadi daritadi pelajaran bahasa
Indonesia.
“Jangan menilai buku dari covernya,”
jawabku ringan.
“Wau…!” seru kagum orang-orang
dikelasku.
“Itu dulu,” tambahku, “sekarang
mottoku yaitu Jangan pernah percaya pada
siapapun.”
“Benarkah?” tanya Malvin yang
tiba-tiba sudah ada disebelahku. Ia tersenyum dari balik jendela dan kemudia terbang
dilangit-langit kelas. Untung saja tidak ada yang melihatnya, kalau tidak semua
orang pasti akan menjerit.
Aku menulis sesuatu
diatas kertas dan menaruhnya didepan mejaku, seperti yang kukira Malvin
langsung membacanya kemudian pergi.
- Bersambung -
0 komentar:
Posting Komentar