Sabtu, 28 Maret 2015

Part 3# Horror Story

Uji Hipotesa

            Aku berjalan kesekolah dengan langkah cepat, seharusnya ini menjadi pagi yang tenang. Tapi…
            “Hei Khalil itu tidak mungkin! Hipotesamu yang kemarin pasti salah!”
            Tidak mungkin bisa dengan adanya arwah ini.
            “Khalil jawab aku! Itu tidak benarkan?” tanya Malvin sekali lagi. Ia berusaha menyakinkan dirinya bahwa hipotesaku salah besar.
            “Jika kau tidak suka diam saja! Aku akan mencari kebenarannya dan kau akan pergi!” bentakku akhirnya. Aku sudah muak dengan perjanjian ini, aku akan menemukan pembunuhnya dan dia akan pergi. Selesai.
            “Bukannya aku tidak suka, aku hanya tidak bisa menerima kenyataannya jika memang seperti itu,”
            Aku menghela nafas dan memberikan sedikit nasehat, “bukankah sudah kubilang kemarin kalau kenyataannya menyakitkan? Jadi kau harus siap menerimannya. Lagian yang sudah terjadi tidak akan bisa kembali lagi.”
            Malvin menghela nafas dan tersenyum tipis, “ya, maafkan aku. Seperti perjanjian aku akan pergi setelah tau kalau semuanya benar.”
            “Itu bagus, tapi kau juga harus menepati janji yang lainnya,” balasku sambil memberi tanda.
            Arwah itu mengangguk mengerti, “Ya aku tau!”
            Tiba disekolah, aku langsung pergi menuju ruang musik. Aku berdiri di berandanya dan tepat sesuai dugaanku. Aku dapat melihat dengan jelas ruang diseberangnya. Kelas X.B IPS, ruang kelas Malvin.
            Sring… Sring…
            Terdengar suara keras bass dari ruang musik, aku melihat jam tanganku. Pukul 06.13 WIB. Pagi-pagi begini sudah ada yang berlatih?
            “Wah suara yang bagus!” seru Malvin mengejutkanku, ia mendekati ruang musik dan melihat masuk lewat jendela. “Oh rupanya itu Aryo!”
            “Aryo? Orang yang bersama Keisya saat kematianmu?”  tanyaku sedikit terkejut. Aku mendekati Malvin dan juga ikut melihat masuk kedalam. Aryo berbeda sekali dengan yang kubayangkan. Ia sangat modis dan terlihat seperti anak band pada umumnya, berbeda 180° dengan Malvin, Ketos yang terlihat seperti seorang kutu buku.
            Malvin menganggukan kepalanya, “Tadi kulihat ada poster lomba band antar sekolah, dia pasti ingin memenangkannya. Jadi ia berlatih keras, semangat Aryo!” katanya memberi semangat. Apa yang terjadi jika hipotesaku memang benar? Sesakit apakah nanti dia?
            “Aku akan masuk” kataku datar
            Ketos bodoh itu melihatku sambil memasang wajah tercengang, “apa? Mengapa? Dia sedang berlatih, jangan menganggunya!”
            “Hanya ingin memastikan,” balasku sambil masuk memasuki ruang musik. Saatku memasukinya, terlihat pada umumnya. Ruang besar yang penuh akan peralatan musik. Melihat sekeliling aku bertemu mata dengan Aryo yang terdiam memegangi bassnya.
            “Sorry, ruangannya lagi gue pake. Lo bisa keluar dulu?” tanyanya
“Hm.. serius banget? Apa segitu pentingnyakah lomba band itu atau…. ada hal yang pengen dilupain?” tanya gue balik sebelum ninggalin tempat itu.
Aryo mengernyitkan dahinya, “maaf?”
“Ngak ada, hanya ingin nanya. Apa kakak pernah melihat sesuatu di lantai 4 ruang X.B IPS?”
“Ngak!” jawab Aryo cepat, raut wajahnya langsung berubah menjadi ketakutan, “gue ngak pernah lihat apa-apa disana”     
“O,” seruku memancingnya
“Kenapa? Kenapa kamu menanyakan tentang itu?”
Dia penasaran, “Hanya mencari kebenaran, kak”
Aryo terdiam dengan tatapan penuh tanya, “apa maksudnya?”
Kring………..
Bel sekolah sudah berbunyi, saatnya kembali kekelas. “Lupakan saja jika tidak mengerti. Terimakasih, kak!” kataku sambil tersenyum penuh arti. Saat keluar ruangan tak kulihat lagi Malvin, kurasa ia pergi kesuatu tempat. Itu bukan masalah, yang terpenting hipotesaku kalau Aryo melihat sesuatu pada hari itu benar.
Istirahatnya, aku pergi kekantin. Ada banyak hal yang menganggu pikiranku tapi ada satu hal yang paling menganggu. Mengapa Keisya masih mengunakan baju karate, padahal dia anak yang disiplin. Itu sangat tidak biasa!  
“Ah, capeknya! Lebih baik makan bakso dulu,” kataku sambil duduk disalah satu kursi kantin.
“Bill, besok ada eskul karate, kan?” tanya seorang perempuan yang ada dibelakangku pada temannya.
“Iya, cutinya Pak Farel minggu lalu sudah habis,” balas temannya
Pak Farel, bukankah dia guru yang mengajar eksul karaete? Minggu lalu?
“Yah sebel! Lebih baik libur lagi kyk dulu!”
Temannya tampak mendesah, “memang sih, tapi eskulkan mempengaruhi nilai.”
“Yang ngak enaknya, minggu lalu baju karate harus dibawa lagi pulang. Padahalkan lumayan berat,”
Jadi begitu, kataku dalam hati. Saat akan pergi meninggalkan kantin, terdengar suara gadis berteriak kencang. Entah siapa, tapi perempuan itu terlihat seperti sedang memaki-maki orang-orang. Bukankah mereka anak-anak karate tadi?
“Hei, lihat, lihat! Itu dia lagi!” tunjuk seorang laki-laki pada gadis yang berteriak itu.
Temannya yang lain hanya mengelengkan kepala, “Oh, lagi-lagi dia. Kenapa sih dia selalu membuat keributan?”
“Maaf,” kataku ingin bertanya pada mereka, “kamu kenal gadis itu?”
Kedua laki-laki itu tertawa, “kamu anak baru ya?” tanya mereka balik
Rupanya mereka kakak kelas toh, “iya, kak”
“hehe… gue dipanggil, kak! Kenapa nanya tentang itu, dek? Jangan-jangan kamu naksir dia?”
“Eh, bukan gitu, kak!” balasku sambil tertawa garing. Apa mereka mengerjaiku?
“Sudah, sudah. Jangan ngerjain dia, ndi. Dek kalau kamu memang naksir dia, lebih baik buang jauh-jauh perasaan itu. Keisya itu orangnya judes,”
Keisya?!
“Hm… maaf, kakak tadi nyebut Keisya?”
“Iya, cewek yg tadi namanya Keisya.”
Dikelas aku hanya mematung memikirkan hal yang baru saja terjadi.
 Meskipun dia kuat karena jago karate, dia orangnya lemah lembut, kok
Apanya yang lemah lembut?, pikirku.
“Khalil, sebutkan apa yang menjadi mottomu!” seru guru bahasa Indonesiaku. Jadi daritadi pelajaran bahasa Indonesia.
“Jangan menilai buku dari covernya,” jawabku ringan.
“Wau…!” seru kagum orang-orang dikelasku.
“Itu dulu,” tambahku, “sekarang mottoku yaitu Jangan pernah percaya pada siapapun.
“Benarkah?” tanya Malvin yang tiba-tiba sudah ada disebelahku. Ia tersenyum dari balik jendela dan kemudia terbang dilangit-langit kelas. Untung saja tidak ada yang melihatnya, kalau tidak semua orang pasti akan menjerit.
Aku menulis sesuatu diatas kertas dan menaruhnya didepan mejaku, seperti yang kukira Malvin langsung membacanya kemudian pergi.

- Bersambung -

0 komentar:

Posting Komentar